Chairil Anwar dijuluki
sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku),
adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya,
termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B.
Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.
Chairil lahir dan
dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya
pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah
mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis.
Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian,
individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar dibesarkan
dalam keluarga yang kurang harmonis. Orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah
lagi. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya
berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir
ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian
keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai
anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya. Namun, Chairil cenderung
bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari
kepribadian orang tuanya.
Chairil Anwar mulai
mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk
orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan
pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai
18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15
tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Pada usia 19 tahun,
setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia
(sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah
bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat
menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti
Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca
karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H.
Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron.
Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak
langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil
Anwar sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada
hidup Chairil Anwar. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu
kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan
kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil
terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat
suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia,
salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan,
baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan
hatinya.
Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Rakannya, Jassin pun punya
kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah.
Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya
saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur
panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah,
Hapsah meminta pisah. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul
15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang
sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar